UNDANG-UNDANG TENTANG DESA

oke

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
  4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
  5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
  6. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
  7. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
  8. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
  9. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
  10. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
  11. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
  12. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
  13. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  14. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  15. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  16. Menteri adalah menteri yang menangani Desa.

Pasal 2

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pasal 3

Pengaturan Desa berasaskan:
  1. rekognisi;
  2. subsidiaritas;
  3. keberagaman;
  4. kebersamaan;
  5. kegotongroyongan;
  6. kekeluargaan;
  7. musyawarah;
  8. demokrasi;
  9. kemandirian;
  10. partisipasi;
  11. kesetaraan;
  12. pemberdayaan; dan
  13. keberlanjutan.

Pasal 4

Pengaturan Desa bertujuan:
  1. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
  3. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  7. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
  8. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
  9. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Pasal 5

Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.

Pasal 6

  1. Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
  2. Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.

Pasal 7

  1. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
  2. Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
    1. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
    2. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
    3. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
    4. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
    5. meningkatkan daya saing Desa.
  4. Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. pembentukan;
    2. penghapusan;
    3. penggabungan;
    4. perubahan status; dan
    5. penetapan Desa.

Pasal 8

  1. Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada.
  2. Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
  3. Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
    1. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
    2. jumlah penduduk, yaitu:
      1. wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;
      2. wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;
      3. wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;
      4. wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;
      5. wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;
      6. wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;
      7. wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;
      8. wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan
      9. wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.
    3. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;
    4. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
    5. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
    6. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota;
    7. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan
    8. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.
  5. Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.
  6. Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk.
  7. Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.
  8. Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.

Pasal 9

Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis.

Pasal 10

Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 11

  1. Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa.
  2. Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 12

  1. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa.
  3. Pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 13

Pemerintah dapat memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional.

Pasal 14

Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Pasal 15

  1. Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.
  2. Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

  1. Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.
  2. Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.
  3. Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.
  4. Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.
  5. Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

Pasal 17

  1. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri.
  2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.

Pasal 18

Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.

Pasal 19

Kewenangan Desa meliputi:
  1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  2. kewenangan lokal berskala Desa;
  3. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
  4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangam lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.

Pasal 21

Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa.

Pasal 22

  1. Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
  2. Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.

Pasal 23

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.

Pasal 24

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
  1. kepastian hukum;
  2. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
  3. tertib kepentingan umum;
  4. keterbukaan;
  5. proporsionalitas;
  6. profesionalitas;
  7. akuntabilitas;
  8. efektivitas dan efisiensi;
  9. kearifan lokal;
  10. keberagaman; dan
  11. partisipatif.

Pasal 25

Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain.

Pasal 26

  1. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:
    1. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
    2. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
    3. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
    4. menetapkan Peraturan Desa;
    5. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
    6. membina kehidupan masyarakat Desa;
    7. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
    8. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
    9. mengembangkan sumber pendapatan Desa;
    10. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
    11. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
    12. memanfaatkan teknologi tepat guna;
    13. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
    14. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    15. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
    1. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
    2. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
    3. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
    4. mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
    5. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
  4. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:
    1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
    2. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
    3. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
    4. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
    5. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
    6. melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
    7. menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
    8. menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
    9. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
    10. melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
    11. menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
    12. mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
    13. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
    14. memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
    15. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
    16. memberikan informasi kepada masyarakat Desa.

Pasal 27

Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib:
  1. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota;
  2. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
  3. memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
  4. memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.

Pasal 28

  1. Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
  2. Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

Pasal 29

Kepala Desa dilarang:
  1. merugikan kepentingan umum;
  2. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
  3. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
  4. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
  5. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
  6. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
  7. menjadi pengurus partai politik;
  8. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
  9. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
  10. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
  11. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
  12. meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 30

  1. Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
  2. Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

Pasal 31

  1. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
  2. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

  1. Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
  2. Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
  3. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak.
  4. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa.

Pasal 33

Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
  1. warga negara Republik Indonesia;
  2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  3. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
  4. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
  5. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
  6. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
  7. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
  8. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
  9. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
  10. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  11. berbadan sehat;
  12. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
  13. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.

Pasal 34

  1. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa.
  2. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
  3. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan.
  4. Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
  5. Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
  6. Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 35

Penduduk Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih.

Pasal 36

  1. Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa.
  2. Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa.
  3. Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37

  1. Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
  2. Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
  3. Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  4. Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
  5. Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
  6. Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 38

  1. Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
  2. Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
  3. Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 39

  1. Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
  2. Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Pasal 40

  1. Kepala Desa berhenti karena:
    1. meninggal dunia;
    2. permintaan sendiri; atau
    3. diberhentikan.
  2. Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
    1. berakhir masa jabatannya;
    2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
    3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau
    4. melanggar larangan sebagai Kepala Desa.
  3. Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 41

Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.

Pasal 42

Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Pasal 43

Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 44

  1. Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa jabatannya.
  2. Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.

Pasal 45

Dalam hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 46

  1. Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa.
  2. Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.

Pasal 47

  1. Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa.
  2. Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa.
  3. Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
  4. Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan.
  5. Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Perangkat Desa terdiri atas:
  1. sekretariat Desa;
  2. pelaksana kewilayahan; dan
  3. pelaksana teknis.

Pasal 49

  1. Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
  2. Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
  3. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala Desa.

Pasal 50

  1. Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan:
    1. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
    2. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
    3. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
    4. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51

Perangkat Desa dilarang:
  1. merugikan kepentingan umum;
  2. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
  3. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
  4. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
  5. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
  6. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
  7. menjadi pengurus partai politik;
  8. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
  9. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
  10. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
  11. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
  12. meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 52

  1. Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
  2. Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

Pasal 53

  1. Perangkat Desa berhenti karena:
    1. meninggal dunia;
    2. permintaan sendiri; atau
    3. diberhentikan.
  2. Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
    1. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun;
    2. berhalangan tetap;
    3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau
    4. melanggar larangan sebagai perangkat Desa.
  3. Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 54

  1. Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
  2. Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. penataan Desa;
    2. perencanaan Desa;
    3. kerja sama Desa;
    4. rencana investasi yang masuk ke Desa;
    5. pembentukan BUM Desa;
    6. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
    7. kejadian luar biasa.
  3. Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
  4. Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 55

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
  1. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
  2. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
  3. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Pasal 56

  1. Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis.
  2. Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
  3. Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Pasal 57

Persyaratan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah:
  1. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  2. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
  3. berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah;
  4. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
  5. bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa;
  6. bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan
  7. wakil penduduk Desa yang dipilih secara demokratis.

Pasal 58

  1. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan ditetapkan dengan jumlah gasal, sedikit 5 (lima) orang dan paling 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa.
  2. Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
  3. Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
  4. Susunan kata sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut: ”Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 59

  1. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris.
  2. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa secara langsung dalam rapat Badan Permusyawaratan Desa yang diadakan secara khusus.
  3. Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda.

Pasal 60

Badan Permusyawaratan Desa menyusun peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.

Pasal 61

Badan Permusyawaratan Desa berhak:
  1. mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
  2. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
  3. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 62

Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:
  1. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
  2. mengajukan pertanyaan;
  3. menyampaikan usul dan/atau pendapat;
  4. memilih dan dipilih; dan
  5. mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 63

Anggota Badan Permusyawaratan Desa wajib:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
  2. melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
  3. menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
  4. mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
  5. menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat Desa; dan
  6. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.

Pasal 64

Anggota Badan Permusyawaratan Desa dilarang:
  1. merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat Desa;
  2. melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
  3. menyalahgunakan wewenang;
  4. melanggar sumpah/janji jabatan;
  5. merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa;
  6. merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
  7. sebagai pelaksana proyek Desa;
  8. menjadi pengurus partai politik; dan/atau
  9. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.

Pasal 65

  1. Mekanisme musyawarah Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
    1. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa;
    2. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa;
    3. pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat;
    4. apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara;
    5. pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui oleh paling sedikit 1/2 (satu perdua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa yang hadir; dan
    6. hasil musyawarah Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan dilampiri notulen musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 66

  1. Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
  2. Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
  3. Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
  4. Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 67

  1. Desa berhak:
    1. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
    2. menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa; dan
    3. mendapatkan sumber pendapatan.
  2. Desa berkewajiban:
    1. melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    2. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa;
    3. mengembangkan kehidupan demokrasi;
    4. mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
    5. memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.

Pasal 68

  1. Masyarakat Desa berhak:
    1. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
    2. memperoleh pelayanan yang sama dan adil;
    3. menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
    4. memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi:
      1. Kepala Desa;
      2. perangkat Desa;
      3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau
      4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa.
    5. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa.
  2. Masyarakat Desa berkewajiban:
    1. membangun diri dan memelihara lingkungan Desa;
    2. mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik;
    3. mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa;
    4. memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di Desa; dan
    5. berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.

Pasal 69

  1. Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.
  2. Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  3. Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
  4. Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
  5. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.
  6. Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya.
  7. Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
  8. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.
  9. Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
  10. Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
  11. Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa.
  12. Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.

Pasal 70

  1. Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerja sama antar-Desa.
  2. Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kerja sama antar-Desa.

Pasal 71

  1. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
  2. Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.

Pasal 72

  1. Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
    1. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
    2. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
    3. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
    4. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
    5. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
    6. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
    7. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
  2. Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
  3. Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
  4. Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
  5. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
  6. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.

Pasal 73

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
  2. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.
  3. Sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Pasal 74

  1. Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah.
  2. Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan,

Pasal 75

  1. Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
  2. Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 76

  1. Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
  2. Aset lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
    1. kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
    2. kekayaan Desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
    3. kekayaan Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    4. hasil kerja sama Desa; dan
    5. kekayaan Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
  3. Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di Desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada Desa.
  4. Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
  5. Kekayaan milik Desa yang telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah digunakan untuk fasilitas umum.
  6. Bangunan milik Desa harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.

Pasal 77

  1. Pengelolaan kekayaan milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.
  2. Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan pendapatan Desa.
  3. Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 78

  1. Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
  2. Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
  3. Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.

Pasal 79

  1. Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
  2. Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi:
    1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
    2. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
  3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Desa.
  4. Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.
  5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  6. Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa.
  7. Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.

Pasal 80

  1. Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
  2. Dalam menyusun perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan Pembangunan Desa.
  3. Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
  4. Prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:
    1. peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;
    2. pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;
    3. pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;
    4. pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan
    5. peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa.

Pasal 81

  1. Pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
  2. Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong.
  3. Pelaksanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.
  4. Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa.
  5. Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.

Pasal 82

  1. Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
  2. Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa.
  3. Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
  4. Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
  5. Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa.

Pasal 83

  1. Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.
  2. Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif.
  3. Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
    1. penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota;
    2. pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
    3. pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan
    4. pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.
  4. Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa.
  5. Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Pasal 84

  1. Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
  2. Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa.
  3. Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 85

  1. Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
  2. Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa.
  3. Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.

Pasal 86

  1. Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
  2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
  3. Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.
  4. Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
  5. Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan.
  6. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.

Pasal 87

  1. Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa.
  2. BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  3. BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 88

  1. Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa.
  2. Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Pasal 89

Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk:
  1. pengembangan usaha; dan
  2. Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 90

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan:
  1. memberikan hibah dan/atau akses permodalan;
  2. melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan
  3. memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.

Pasal 91

Desa dapat mengadakan kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.

Pasal 92

  1. Kerja sama antar-Desa meliputi:
    1. pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing;
    2. kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau
    3. bidang keamanan dan ketertiban.
  2. Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa.
  3. Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa.
  4. Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membahas hal yang berkaitan dengan:
    1. pembentukan lembaga antar-Desa;
    2. pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema kerja sama antar-Desa;
    3. perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan antar-Desa;
    4. pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan;
    5. masukan terhadap program Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan
    6. kegiatan lainnya yang dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa.
  5. Dalam melaksanakan pembangunan antar-Desa, badan kerja sama antar-Desa dapat membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan.
  6. Dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih.

Pasal 93

  1. Kerja sama Desa dengan pihak ketiga dilakukan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
  2. Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimusyawarahkan dalam Musyawarah Desa.

Pasal 94

  1. Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
  2. Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa.
  3. Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
  4. Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

Pasal 95

  1. Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa.
  2. Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.
  3. Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.

Pasal 96

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.

Pasal 97

  1. Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
    1. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
    2. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
    3. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
    1. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
    2. pranata pemerintahan adat;
    3. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
    4. perangkat norma hukum adat.
  3. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila:
    1. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan
    2. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
  4. Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:
    1. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
    2. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98

  1. Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
  2. Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung.

Pasal 99

  1. Penggabungan Desa Adat dapat dilakukan atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat.
  2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan penggabungan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 100

  1. Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan Desa Adat dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
  2. Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan berubah menjadi Desa Adat, kekayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 101

  1. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa Adat.
  2. Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
  3. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.

Pasal 102

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.

Pasal 103

Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
  1. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
  2. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
  3. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
  4. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
  5. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  6. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
  7. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

Pasal 104

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip keberagaman.

Pasal 105

Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.

Pasal 106

  1. Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
  2. Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.

Pasal 107

Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 108

Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.

Pasal 109

Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi.

Pasal 110

Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 111

  1. Ketentuan khusus tentang Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya berlaku untuk Desa Adat.
  2. Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang Desa Adat.

Pasal 112

  1. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
  2. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah.
  3. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:
    1. menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
    2. meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; dan
    3. mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
  4. Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan.

Pasal 113

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
  1. memberikan pedoman dan standar pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
  2. memberikan pedoman tentang dukungan pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa;
  3. memberikan penghargaan, pembimbingan, dan pembinaan kepada lembaga masyarakat Desa;
  4. memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
  5. memberikan pedoman standar jabatan bagi perangkat Desa;
  6. memberikan bimbingan, supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
  7. memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan Desa;
  8. menetapkan bantuan keuangan langsung kepada Desa;
  9. melakukan pendidikan dan pelatihan tertentu kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa;
  10. melakukan penelitian tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa tertentu;
  11. mendorong percepatan pembangunan perdesaan;
  12. memfasilitasi dan melakukan penelitian dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
  13. menyusun dan memfasilitasi petunjuk teknis bagi BUM Desa dan lembaga kerja sama Desa.

Pasal 114

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
  1. melakukan pembinaan terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur Desa;
  2. melakukan pembinaan Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian alokasi dana Desa;
  3. melakukan pembinaan peningkatan kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
  4. melakukan pembinaan manajemen Pemerintahan Desa;
  5. melakukan pembinaan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis;
  6. melakukan bimbingan teknis bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
  7. melakukan inventarisasi kewenangan Provinsi yang dilaksanakan oleh Desa;
  8. melakukan pembinaan dan pengawasan atas penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan Desa;
  9. melakukan pembinaan terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penataan wilayah Desa;
  10. membantu Pemerintah dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
  11. membina dan mengawasi penetapan pengaturan BUM Desa Kabupaten/Kota dan lembaga kerja sama antar-Desa.

Pasal 115

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
  1. memberikan pedoman pelaksanaan penugasan urusan Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Desa;
  2. memberikan pedoman penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;
  3. memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
  4. melakukan fasilitasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
  5. melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa;
  6. menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk Desa;
  7. mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa;
  8. melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
  9. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
  10. memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
  11. melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan;
  12. melakukan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis;
  13. melakukan peningkatan kapasitas BUM Desa dan lembaga kerja sama antar-Desa; dan
  14. memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 116

  1. Desa yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap diakui sebagai Desa.
  2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.
  3. Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  4. Paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Desa melakukan inventarisasi Aset Desa.

Pasal 117

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang sudah ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 118

  1. Masa jabatan Kepala Desa yang ada pada saat ini tetap berlaku sampai habis masa jabatannya.
  2. Periodisasi masa jabatan Kepala Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
  3. Anggota Badan Permusyawaratan Desa yang ada pada saat ini tetap menjalankan tugas sampai habis masa keanggotaanya.
  4. Periodisasi keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
  5. Perangkat Desa yang tidak berstatus pegawai negeri sipil tetap melaksanakan tugas sampai habis masa tugasnya.
  6. Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 119

Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 120

  1. Semua peraturan pelaksanaan tentang Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
  2. Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 121

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 122

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ditempatkan pada LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 7

0 Response to "UNDANG-UNDANG TENTANG DESA"

Post a Comment